JAKARTA – Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret setiap tahunnya diperingati di seluruh dunia, momentum ini merupakan ruang untuk membeberkan segala bentuk penindasan, kekerasan yang dialami perempuan, mengkampanyekan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan sebagai perjuangan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk Hak Asasi Perempuan (HAP), minggu(10/3/2024).
Sekaligus hari tersebut adalah untuk merayakan persaudaraan antar perempuan, dan kemenangan kemenangan yang berhasil dicapai dalam perjuangan mereka.
IWD di Indonesia kali ini diwarnai oleh salah satu kegelisahan perempuan selain hal-hal masih maraknya kekerasan terhadap perempuan, hal lainnya yaitu program ‘makan siang gratis bagi anak sekolah’ yang menjadi salah satu janji kampanye Prabowo-Gibran.
Janji kampanye seperti ini ternyata mampu mendongkrak perolehan suara Paslon tersebut dalam Pemilu Februari 2024, menurut hasil real count KPU yang terakhir, Prabowo-Gibran unggul dengan perolehan suara mencapai 58,82%1.
Janji ini dikampanyekan sebagai program yang mampu mengatasi kemiskinan dan menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) unggul.
Namun, janji tersebut menuai banyak
keprihatinan masyarakat, mulai dari persoalan sumber anggaran negara yang akan digunakan dan terutama wacana pengambilan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Dana BOS adalah untuk biaya operasional sekolah seperti gaji guru dan karyawan, kebutuhan belajar mengajar seperti buku dan alat tulis, serta keperluan lainnya seperti biaya listrik, air, dan perawatan gedung sekolah.
Apabila dana itu digunakan untuk makan siang anak sekolah saja, bagaimana untuk operasional sekolah tersebut? Seorang guru honorer perempuan dari Banyumas dalam sebuah konsultasi mengenai ketidakadilan gender dan ekonomi bagi perempuan yang diselenggarakan Aksi! menceritakan bahwa gaji yang diterimanya selama 6 tahun hanyalah Rp 150.000 per bulan.
Apabila Dana BOS diambil, apakah artinya gaji guru honorer yang sudah kecil itu akan makin diperkecil lagi? Guru-guru honorer terutama di sekolah dasar yang kebanyakan adalah perempuan.
Dengan demikian beban ekonomi perempuan dan keluarganya akan semakin berat, selain itu, potensi sekolah membebankan biaya operasional sekolah kepada orang tua murid, menjadi besar, pada gilirannya, anak sekolah mendapat makan siang gratis, tetapi orang tua harus membayar biaya pendidikan anaknya lebih tinggi.
Hal tersebut tentunya bukan solusi mengatasi kemiskinan tetapi makin memperparah situasi kemiskinan, dan potensi anak didik putus sekolah meningkat karena orang tua tidak mampu membiayai sekolahnya.
Biasanya, anak perempuan lah yang dikeluarkan dari sekolah apabila orang tuanya tidak mampu membiayai sekolah anak-anaknya, selanjutnya, masih banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh janji program ini, misalnya, bagaimana mekanisme distribusi keuangannya, penetapan siapa penyedia makanan, bagaimana standar nutrisi yang baik, bagaimana mekanisme pengawasan kualitas makanan, dan seterusnya.
Apabila hal-hal ini tidak diatur, maka program ini rawan korupsi, kolusi dan
nepotisme, akibatnya, orang tua anak kembali yang menerima beban persoalan apabila terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan dana program ini.
Pertanyaan lain, apakah realisasi janji program ini yang diperkirakan akan menelan biaya anggaran negara sebesar Rp 450 triliun tersebut, akan dikompensasi dengan kenaikan pajak? Biasanya pemerintah lebih senang menaikkan PPN (pajak pertambahan nilai) dibanding pajak kepada orang kaya atau kepada perusahaan.
PPN atas barang konsumsi akan makin membebankan masyarakat karena harga pangan sehari-hari akan meningkat, subsidi pendidikan itu penting dan perlu, dan karenanya harus tepat sasaran, ada
mekanisme pelaksanaan dan pemantauan, serta membantu orang tua dalam pendidikan anak-anaknya.
Subsidi pendidikan perlu dilengkapi dengan mekanisme pengawasan bahwa tidak ada beban tambahan ke orang tua murid, selanjutnya, pemberantasan korupsi
makin perlu diperkuat sehingga uang negara bisa digunakan untuk subsidi pendidikan dan subsidi lainnya yang mensejahterakan masyarakat, termasuk perempuan dan anak perempuan.
Program yang yang hanya dimanfaatkan sebagai janji untuk memperoleh suara dalam Pemilu saja seperti janji makan siang gratis ini, malah justru akan membawa persoalan lebih besar terutama bagi masyarakat miskin.
Program yang berwawasan sempit demikian justru akan merugikan negara, program bantuan sosial saja belum mampu menjawab kemiskinan yang dialami oleh perempuan akibat berbagai hal terutama karena kecilnya akses informasi dan keterampilan digital serta diskriminasi gender.
Apalagi jika anggaran program bantuan sosial akan dipangkas untuk menjalankan program yang hanya untuk menarik suara dalam Pemilu.
“Kami melihat bahwa program makan siang gratis yang akan dijalankan Prabowo-Gibran nantinya malah berpotensi meningkatkan kemiskinan keluarga dengan beban terberat kepada perempuan dan anak perempuan,” ungkap Risma Umar, Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice.