MAKASSAR – KontraS Sulawesi pada hari minggu(31/03/2024)melakukan launching laporan audit sosial yang diberengi dengan diskusi dan buka bersama di Kantor KontraS Sulawesi. Dalam launcing laporan audit sosial, KontraS Sulawesi mengangkat isu reklamasi Pulau Lae-lae sebagai isu strategis, selasa(02/04/2024).
Al Iqbal selaku pemapar mewakili KontraS Sulawesi terlebih dahulu menjelaskan apa itu audit sosial. “Audit sosial adalah mekanisme yang dilakukan oleh suatu organisasi atau kelompok untuk melakukan pemantauan, assesmen dan pengukuran prestasi suatu objek dalam kinerja sosialnya. Dalam konteks pemantauan yang kami lakukan, audit sosial digunakan untuk assesmen terhadap kinerja sosial pemerintah daerah termasuk kebijakan publik yang berdampak luas.” Jelasnya.
Berikutnya, Iqbal menjelaskan alasan kenapa reklamasi Pulau Lae-lae yang diangkat menjadi isu strategis dalam audit sosial yang mereka lakukan.
“Reklamasi pulau Lae-lae merupakan proyek pengganti reklamasi CPI yang belum rampung. Dimana pemprov Sulsel masih memiliki kekurangan lahan sekitar 12,11 Ha dari hasi pembagian lahan reklamasi antara Pemprov Sulsel dan PT. Ciputra Nusantara serta PT. Yasmin yang bertindak sebagai pengembang. Kekurangan lahan itulah yang kemudian dipindahkan ke pulau Lae-lae. Namun ternyata terjadi penolakan keras dari warga pulau Lae-lae. Artinya, kebijakan yang dibuat oleh pemprov Sulsel tidak sejalan, bahkan dianggap menjadi suatu ancaman oleh masyarakat,” ungkapnya.
“Disinilah Audit Sosial diperlukan untuk melakukan pemantauan atas kebijakan public yang akan berdampak pada masyarakat luas yang didalamnya terdapat kelompok marjinal,” tambahnya.
Dari pemaparan laporannya, Iqbal menjelaskan tahapan-tahapan dalam melakukan audit sosial. Mulai dari tahap pra-audit, pelaksanaan audit hingga mendapat suatu kesimpulan dan rekomendasi.
“Dari isu yang kita angkat, kita terlebih dahulu mengidentifikasi masalahnya termasuk perkembangan isunya. Kemudian kita melakukan pemetaan aktor yang terkait dalam permasalahan tersebut. Disini kami menemukan ternyata ada 2 aktor kunci yang memiliki kepentingan dan kekuatan yang besar dalam isu ini. Pertama adalah warga pulau Lae-lae, mereka memiliki kepentingan untuk mempertahankan wilayah tangkap mereka. Kekuatan pengaruh mereka juga sangat besar terbukti dengan persatuan mereka dalam melakukan penolakan sehingga proyek reklamasi pulau Lae-lae yang direncanakan akan selesai bulan Juli itu tidak terlaksana sama sekali. Kedua adalah pemprov Sulsel, dimana kepentingan mereka dari proyek reklamasi ini adalah untuk mendapatkan lahan pengganti dari reklamasi CPI yang nantinya akan menjadi asset pemprov. Sedangkan kekuatan pemprov dikatakan besar sebab pemprov memiliki wewenang untuk membuat regulasi,” papar Iqbal.
Data lapangan dikumpulkan melalui beberapa metode seperti wawancara langsung, Rapat Dengar Pendapat dengan DPRD Provinsi Sulsel dan beberapa dinas terkait, Menghadiri Konsultas Publik Dinas PU, Audiensi Terbuka dengan Wakil ketua DPRD Provinsi Sulsel dan Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Pemprov Sulsel / Ketua Tim Reklamasi CPI. Selain itu juga dilakukan dengan penelusuran dokumen seperti Surat Edaran Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 180/1428/B, Surat Edaran Gubernur Sulsel No. 593.6/5522/BKAD Perihal Penetapan Lahan Pengganti 12,11 Ha, Perda No. 3 tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan, Pergub No. 14 tahun 2021 tentang Pembangunan Kawasan Destinasi Wisataa Bahari di Pulau Lae-lae, Rengcana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Sulawesi Selatan, Kerangka Acuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) Rencana Reklamasi Pulau Lae-lae, Draf Konsultasi Publik Perangkat Pengendalian Kawasan Wisata Pantai dan Air Pulau Lae-lae.
Ada beberapa penjelasan menarik dari proses audit sosial yang dilakukan serta temuan-temuan baik dari hasil penelusuran dokumen dan wawancara yang merupakan metode pengumpulan data dalam audit sosial ini.
“Rencana rekalamasi Pulau Lae-lae sejak awal direncanakan secara sepihak. Rencana ini sama sekali tidak pernah dikonsultasikan kepada masyarakat pulau Lae-lae. Padahal warga pulau Lae-lae adalah pihak yang paling terdampak dan berkepentingan atas segala kegiatan pembangunan dipulau tersebut. Anehnya, dalam draft Amdal penyusun mengatakan bahwa 99% masyarakat pulau Lae-lae setuju dengan rencana reklamsi tersbut. Namun fakta lapangan menujukan hal yang sebaliknya,” tegasnya.
Andra Dg. Bau warga pulau Lae-lae yang hadir sebagai penanggap kemudian mengonfirmasi temuan-temuan dari audit sosial yang dilakukan oleh KontraS Sulawesi.
“Semua informasi yang disampaikan oleh KontraS Sulawesi benar terjadi dilapangan. Kami sejak awal tidak tau kalau laut kami akan ditimbun. Kami baru tau ketika ada papan bicara yang berdiri di ujung pulau kami yang memberikan informasi soal reklamasi. Kemudian kami cabut dan mulai saat itu kami sering melakukan aksi bahkan kalau ada pemprov mau masuk pulau kami membahas reklamasi kami tidak biarkan. Karena kami tolak reklamasi tidak ada negosiasi,” tegas Dg. Bau
“Lokasi reklamasi itu merupakan tempat kami menari nafkah. Bukan hanya laki-laki, tapi ibu-ibu bahkan anak-anak itu sudah bisa berpenghasilan dengan memanfaatkan hasil laut disekitar pulau kami. Tidak perlu lagi kami menggunakan perahu, cukup berjalan ketika air sudah mulai surut,” tambahnya.
Diakhir sesi, Iqbal meminta masukan kepada para peserta diskusi untuk menyempurnakan audit sosialnya. Hasil audit itu juga akan dimasukkan ke Pemprov dan DPRD Provinsi Sulsel.
“Setelah menerima masukan dari publik, laporan ini akam kami serahkan kepada pemprov dan DPRD Provinsi Sulsel agar bisa menjadi pertimbangan dalam mentukan kebijakan terkait reklamasi pulau Lae-lae,” tutup Iqbal.